HARI ini, Kamis (9/2/2017) adalah hari istimewa bagi para jurnalis dan segenap insan pers dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati di Ambon, Maluku. Ketika berbicara pers, kita tentu harus selalu ingat bahwa media sejak dahulu adalah sebagai ujung tombak perjuangan para pahlawan Indonesia.
Pers di Era Kemerdekaan dan Orde Lama

Di awal kemerdekaan, kala itu munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya.
Selanjutnya, penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Di tahun awal kemerdekaan ini, RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945. Kemudian, surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya. Sementara itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional, karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembangunan bangsa.

Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta. Di era tersebut, kita juga menyaksikan sosok fenomenal Bung Tomo memanfaatkan pers dalam hal ini radio untuk membakar semangat juang masyarakat Surabaya menghadapi Belanda.
Di masa era orde lama, pers berkembang dengan adanya PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah di masa Demokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.
BPS singkatan dari Badan Pendukung Soekarnoisme. Badan ini dibentuk untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal adalah Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasaaom tetapi setuju dengan Nasasos (Nasionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu akan sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan hanya mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu perlu diambil alih dengan segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya Berita Yudha. Sedangkan Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan Bersenjata dengan inti tujuan yang sama.
Pers di Era Orde Baru dan Reformasi

Selanjutnya di masa orde baru, setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal 12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak pers itu sendiri. Dalam usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).
Era orde baru media juga sangat vital. Kala itu, salah satu contohnya adalah branding pemerintah saat itu sebagai pilar pembangunan bisa dilihat dari program di TVRI. Di era orde baru ini, kita tentumasuh ingat Klompencapir, dari desa ke desa sehingga ada banyak contoh peranan media dalam mengkonstruksi pembangunan
Di era ini, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers. Terjadinya pembredelan Tempo, Detik pada Juni 1994 mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Setelah rezim Soeharto runtuh, pers tumbuh berkembang. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.

Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Dalam era reformasi media memegang peranan, ekskalasi perjuangan mahasiswa dan rakyat selalu dilihat dari coverage media. Dan salah satu puncaknya adalah perang media dalam agenda politik Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 lalu. Pun demikian dengan era saat ini, dimana media memegang peranan penting dalam mengontrol sosial politik di Indonesia.
Harapan dan Masa Depan Pers Kita

Sampai kapanpun, saya sendiri berharap media tetap menjadi ujug tombak dalam berjuang menyarakan kebenaran. Meski, saya sendiri memahami bahwa media kadang menjadi pisau yang bermata dua. Media akan kembali pada siapa yang memegangnya. Senjata bisa mencelakai diri bahkan orang lain, namun bisa memberi manfaat jika digunakan sebagaimana mestinya.
Aktivitas saya sendiri sebagai pelayan rakyat tak pernah luput dari keberadaan dunia pers. Sehingga, besar harapan saya, di momentum Hari Pers Nasional (HPN) ini, media, baik sebagai pemilik maupun wartawan harus selalu mengedepankan integritas. Wartawan harus memegang teguh kode etik jurnalistik dalam menjalankan setiap agenda peliputan. Sementara bagi saya danmasyarakat penikmat produk jurnalistik harus pandai memilah dan memilih dalam membaca media.
Karena, masa depan media dan dunia pers ke depan bukan hanya soal idealisme yang berganti pragmatisme. Tetapi disisi lain kita sedang menggerus produk hoax yang terus menggerayangi dan menggerogoti dunia pers kita. Sehingga dunia pers dituntut untuk menjadi penjaga dan pengawal demokrasi. Salah satunya dengan menjadi garad terdepan pemberantasna hoax.
Selamat hari pers nasional. Semoga dunia pers kita semakin dewasa, semakin tumbuh dan berkembang, semakin inspiratif dan menyejukkan bagi siapapun penikmat produk dunia pers. Sekali lagi selamat.