BAGIKU, wayang bukanlah budaya baru. Kala itu, dari ujung tenggara Jawa Tengah, tepatnya di Desa Ngancar, Kecamatan Giriwoyo Wonogiri, 30 tahun yang lalu wayang selalu menjadi hiburan yang kutunggu-tunggu. Bukan hanya sabetan, suluk, jejer, limbukan, goro-goro, perang angkatan, atau perang puputan yang tak tunggu– tunggu, tapi sajian gendar pecel, mie ayam, bakso, bahkan jajanan berupa mainan ikut membuat wayangan menjadi agenda yang menyenangkan.
Bahkan aku punya kenangan tersendiri dengan wayang, saat aku berusia empat tahun bapakku sedang memperbaiki rumah, setiap hari ada tukang bangunan yang datang Lik Surip, Mbah Marimin, Mbah Mul, Lik Nardi, Lik Sinur yang datang pagi selalu mampir “di kelirku” kain putih dan pelepah daun ketela yang aku ubah jadi wayang-wayangan, lengkap dengan daun pepaya sebagai Gunungan.
Dan yang menjadi kenangan sampai hari ini adalah pronounce yang muncul dari mulutku ketika mengikuti gamelan wayang ” nonden.. nonden.. nonden… de cang.. Je der..” dengan keras tak peragakan tiap pagi seolah menjadi gamelan lengkap mengiringi sarapan para tukang batu.
Sampai hari ini ketika bertemu mereka, selalu kalimat pembuka percakapan kami adalah nonden.. nonden..
Wayang, bagiku selain tontonan banyak memberi inspirasi tuntunan konsep manunggaling kawulo lan gusti, sangkan paraning dumadi, wasana jati, wahyu suci, laku utomo terungkap dalam ulasan sang dalang. Keberadaan sosok yang kerap jadi simbol kehidupan menarik jika mau ditelisik, sosok Pandawa yang merupakan pangeran kebaikan, sang Kresno tokoh pengarah dan pengatur strategi, sang Bodronoyo Semar sang pamomong, kurawa sang angkara murka, sengkuni sang pembisik licik, dan ribuan tokoh wayang jejer atau wayang dudah yang bisa menginspirasi.
Tak lupa lelakon topo broto, meper howo nafsu yang selalu dijadikan kunci keuksesan satu tokoh yang akan njoged saat glundung kendang. Semua itu begitu menginspirasi hidupku hari ini, seperti ungkapan yang sering muncul saat paglaran wayang becik ketitik olo ketoro, kang jujur bakal luhur, sabar jembar wekasane selalu aku ingat dalam falsafah hidupku.
Setelah sekian tahun, hari ini entah hari keberapa kali aku bersama Dinas Kebudayaan dan pariwisata Jateng menggelar wayang kulit sedalu natas, mulai dari Wonogiri di kecamatan Pracimanto, Baturetno, Manyaran, Jatipurno, kemudian di Kabupaten Karanganyar di Kecamatan Jatipuro dan Meteseh. Berlanjut di Kecamatan Masaran dan Plupuh di Sragen, dan masih banyak kecamatan yang kami singgahi.
Selain sebagai sarana komunikasi antara wakil dengan rakyat yang aku wakili, namun juga niat untuk ikut nguri-uri kebudayaan jawi ingkang adiluhung. Kalau bukan kita yang muda siapa Lagi yang bangga akan budaya kita, bukan dengan slogan namun memulai walaupun hanya sepenggal kecil.
Seperti pada malam ini, sampailah aku di Desa Sidodadi, Kecamatan Masaran Sragen bersama Anggota DPR RI Muhammad Martri Agoeng dan Wakil Bupati Sragen Dedy Endriyatno aku menyaksikan pagelaran wayang sedalu natas yang dimainkan oleh Ki Dalang Wasugi Guno Asmoro kanthi lelampahan “Semar mbangun Sukawati.”
Yuk, mari kita nguri-uri kebudayaan jawi ingkang adiluhung.